Ketika
membahas masalah sosial maka kita juga perlu untuk membahas berbagai bentuk dari
kesalahan pemikiran yang digunakan manusia dalam memperlakukan masalah sosial
yang disebut oleh para ilmuwan dengan sebutan intellectual cul-de-sac yang
menggambarkan kebuntuan pemikiran. Penulis mengungkapkan ada dua jenis
kesalahan berpikir, yakni intellectual cul-de-sac yang terjadi akibat
penggunaan logika yang tidak benar dan mitos, yaitu sesuatu yang tidak benar,
tetapi dipercayai oleh banyak orang termasuk oleh para ilmuwan. Dua bentuk
kesalahan ini acapkali menghampiri kita dan membuat pemahaman kita terhadap
masalah sosial yang dikritisi menjadi tidak tepat dan pada akhirnya tidak bisa
menemukan solusi tepat.
Secara umum,
intellectual cul-de-sac terbagi atas beberapa jenis, yaitu:
Fallacy of Dramatic Instance
Pemikir
jenis ini biasa melakukan apa yang disebut penulis sebagai over-generalisation,
yakni penggunaan satu atau dua kasus untuk menggambarkan kondisi sebara umum
(general). Padahal setiap masalah meskipun memiliki kesamaan tipe pastilah
berbeda secara kondisional. Kita tidak jarang melakukan over-generalisation ini
saat memandang dan menilai seseorang atau sesuatu.
Fallacy of Retrospective Determinism
Istilah ini
menggambarkan kebiasaan orang untuk melihat suatu masalah sosial yang sedang
terjadi dengan melacaknya secara historis dan menganggapnya selalu ada dan tak
bisa dihindari. Kerancuan seperti ini pada akhirnya membuat kita bersikap
fatalis, menyerah pada keadaan, dan selalu melihat kebelakang. Akhirnya,
ide-ide untuk mengeluarkan gagasan-gagasan perubahan tidak bisa diaktualisasikan.
Misalnya, orang yang berpendirian tipe ini akan menganggap masalah kemiskinan
sebagai masalah yang sudah sejak dulu ada sepanjang sejarah bangsa dan tidak
bisa diberantas, maka untuk apa kita meributkan upaya untuk memberantas
kemiskinan itu? Bayangkan kalau setengah saja dari populasi rakyat Indonesia
berpikiran seperti ini maka kemiskinan akan sangat sulit diberantas.
Post Hoc Ergo Propter Hoc
Maksudnya
apabila ada satu peristiwa yang terjadi dalam urutan temporal, maka kita
menyebabkan hal pertama sebab dan hal kedua akibat. X datang sesudah Y, maka Y
dianggap sebagai sebab dan Y akibat. Padahal keadaan itu tidak ada
sangkut-pautnya dengan peristiwa tsb. Untuk lebih jelasnya diberikan contoh :
Ada orangtua yang lebih mencintai seorang anak dibandingkan anak lain hanya
karena orang tua itu kebetulan naik pangkat atau ekonominya menjadi lebih
stabil setelah kelahiran anak kedua. Ketika zaman anak pertama, keadaan jauh
lebih buruk. Orang tua itu berkata : “inilah anak emas saya. Anak ini selalu
membawa keberuntungan”. Itulah sebabnya orangtua lebih mencintai anak keduanya
daripada yang lain. Pemikiran tipe ini dapat mengakibatkan kita tidak tepat
dalam melihat sebab dan akibat dari suatu permasalahan sosial dan akhirnya
tidak tepat dalam menentukan solusi untuk mengatasinya.
Fallacy of Misplaced Concretness
Tipe ini
bisa dimaknai sebagai kekeliruan berpikir yang terjadi karena kita seolah-olah
menganggap persoalan yang sedang dibicarakan itu konkret padahal pada
kenyataannya ia sangat abstrak. Atau dapat dikatakan, kita mengonkretkan
sesuatu yang sejatinya adalah abstrak. Misalnya ada pertanyaan: mengapa umat
islam secara ekonomi dan politik lemah? Jawabannya : kita lemah karena sistem.
Saat ini kita kembali ke zaman jahiliyah. Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Jawabannya : kita harus mengubah sistem, tetapi sistem itu sendiri pada
dasarnya abstrak. Dan kita memandang sistem itu mudah berubah karena
kekonkretannya. Contoh lainnya adalah ungkapan yang mengatakan: ”ini semua
sudah takdir Allah”. Ketika terjadi permasalahan sosial dan kita menganggapnya
sebagai takdir Allah, maka selesailah sudah perdebatan karena orang cenderung
merasa tidak ada lagi yang dapat dilakukan.
Argumentum ad Verecundiam
Berargumen
atas dasar otoritas. Ada orang yang sering kali berbicara menggunakan otoritas
yang telah diakui keberadaannya sebagai dasar pijakan yang kuat baginya untuk
berargumentasi. Padahal kalau mau ditelusuri, secara kontekstual, ia bisa saja
dipahami secara berbeda. Orang menggunakan otoritas untuk membela paham dan
kepentingannya sendiri. Misalnya : si A mengutip ayat al-Qur’an untuk memaksa
lawannya berhenti dengan argumentasinya (apabila ia membantah ayat tsb
dikatakan kafir karena tidak mengindahkan perintah yang ada dalam Qur’an).
Padahal bisa saja timbul perbedaan pendapat dalam interpretasi makna ayat
tersebut. Dan kalaupun si B ingin membantah yang ingin ia katakan adalah
penyalahgunaan otoritas Qur’an bukan pada ayat itu sendiri.
Fallacy of Composition
Untuk tipe
pemikiran ini, penulis telah memberikan contoh yang menarik, yakni ketika ada
satu keluarga disatu kampung yang memelihara ayam petelor mendapatkan untung
besar. Melihat itu, berbondong-bondong masyarakat di kampung itu latah beternak
ayam petelor dengan harapan bisa meraih untung besar. Akibatnya, mereka semua
satu penduduk itu bangkrut karena banyaknya pasokan telur tidak diimbangi
dengan permintaan pasar.
Circular Reasoning
Artinya
logika yang berputar-putar. Pembicaraan yang dilakukan tak terarah dan
mengulang hal-hal yang telah dibicarakan sebelumnya.
Sedangkan
mitos, penulis membahas dua jenis mitos, yaitu:
Mitos
Deviant
Mitos ini berawal dari pandangan
bahwa masyarakat itu stabil, statis, dan tidak berubah-ubah. Kalaupun terjadi
perubahan, maka perubahan itu adalah penyimpangan dari sesuatu yang stabil.
Mitos ini berkembang dari teori ilmu sosial yang disebut structural
functionalism (fungsionalisme struktual). Menurut teori ini, kalau mau melihat
perubahan sosial, kita harus mau melihat struktur dan fungsi masyarakat. Jadi
kalau ada dinamika sosial, maka harus ada statistika sosial. Analisis fungsional
bisa dilakukan, misalnya dalam memandang persoalan kemiskinan. Kemiskinan
meskipun ia tidak diinginkan, namun secara fungsional tetap diperlukan. Orang
miskin diperlukan untuk melakukan pekerjaan2 berbahaya yang tak mungkin
dilakukan orang kaya, orang miskin memberikan pekerjaan kpd LSM yang meneliti
prospek kemiskinan di suatu negara, dll. Jika analisis fungsional ini terus
menerus dilakukan dan dijadikan rujukan, kita bisa menjadi pro status quo. Kita
melihat perubahan tidak lagi sesuatu yang diharapkan. Misalnya pelacuran, akan
dianggap memiliki fungsi untuk mencegah suami-suami yang akan berpoligami.
Mitos
Trauma
Perubahan mau tidak mau menimbulkan
reaksi. Bisa berbentuk krisis emosional dan stress mental. Perubahan juga
berpotensi menimbulkan disintegrasi pada awalnya. Bisa berbetuk disintegrasi
sosial dan disintegrasi individual. Misalnya : ada teori yang dinamakan
Cultural Lag (kesenjangan kebudayaan). Perubahan yang terjadi disuatu tempat
belum tentu terjadi di tempat lain pada waktu yang bersamaaan. Dan apabila
kedua ini bersatu, berpotensi menimbulkan “kegamangan”. Contoh : sebuah
perusahaan yang telah dilengkapi peralatan komputer canggih, namun
karyawan-karyawannyanya tidak mau atau belum belajar mengoperasikannya.
Walhasil, komputer hanya menjadi pajangan untuk memperlihatkan “kelas” dari
perusahaan tersebut.
Perubahan sosial juga berpotensi
menimbulkan krisis. Orang yang tidak siap dengan perubahan cenderung bersikap
antipati terhadap perubahan. Orang menolak perubahan biasanya disebabkan karena
basic security nya terancam. Jadi, ia merasa lebih nyaman dengan keadaan yang
lama. Sikap antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan
begitu, dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial
baru. Perubahan sosial juga berpotensi menimbulkan krisis. Orang yang tidak
siap dengan perubahan, yakni golongan orang yang sudah merasa nyaman dengan
kondisinya saat ini cenderung bersikap antipati terhadap perubahan. Sikap
antipati ini membuat orang menciptakan defensive mechanism. Dengan begitu,
dapat dikatakan bahwa perubahan sosial juga mendatangkan masalah sosial baru.
Selanjutnya penulis mengungkapkan makna dari rekayasa sosial yang sebenarnya
dapat dengan mudah kita temukan dikehidupan sehari-hari.
Ada dua macam bentuk perubahan
sosial, yakni perubahan sosial yang terjadi secara terus-menerus, tetapi
berlangsung secara perlahan tanpa kita rencanakan disebut unplanned social
change (perubahan sosial yang tidak terencana). Hal ini disebakan oleh
perubahan dalam bidang teknologi atau globalisasi. Bentuk kedua adalah
perubahan sosial yang kita rencanakan tujuan dan strateginya yang disebut
planned social change (perubahan sosial terencana). Seringkali disebut juga
dengan istilah social engineering atau social planning. Contoh dari planned
social change adalah pembangunan (development) yang berkisar pada bagaimana
mengubah satu masyarakat dengan mengubah sistem ekonominya yang biasanya
berpegang pada Ekonomi Klasik. Penulis mengatakan bahwa sebenarnya selama Orde
Baru kita telah melakukan rekayasa sosial dengan pola development.
Bab terakhir penulis memaparkan
tentang revolusi. Pada umumnya, revolusi terjadi ketika banyak orang merasa
tidak puas dengan keadaan yang terjadi. Krisis yang melanda menuntut hadirnya
suatu perubahan fundamental dan holistik, adanya reformasi yang mungkin
sebelumnya sudah terjadi dirasa berjalan terlalu lamban dan tidak menyelesaikan
permasalahan. Dari kondisi inilah kemudian perubahan total dianggap perlu
sebagai jawaban, perubahan ini disebut revolusi. Revolusi sendiri dapat
diartikan sebagai bentuk dari perubahan sosial yang paling spektakuler yang
menyentuh seluruh aspek kehidupan berbangsa, dalam buku tersebut bahkan
dikatakan bahwa revolusi menutup satu zaman dan membuka zaman baru tanpa
menyisakan hal apapun seperti sebelumnya.
Revolusi memang perubahan yang
cepat, tetapi tidak semua perubahan yang cepat disebut revolusi. Menurut
Sztompka, setidaknya ada lima ciri dari revolusi yang membedakannya dari
perubahan sosial lainnya:
1. Revolusi
menghasilkan perubahan dengan skala paling luas dan menyentuh seluruh dimensi
kehidupan masyarakat.
2. Perubahan
pada revolusi bersifat radikal, fundamental, dan mengakar pada inti
permasalahan.
3. Perubahan
terjadi dengan sangat cepat.
4. Revolusi
menunjukkan perubahan yang paling nyata; karena itu paling dikenang.
5. Revolusi
menimbulkan reaksi emosional dan intelektual yang besar dari seluruh pihak.
Penulis
selanjutnya memaparkan empat mazhab teori revolusi yang masing-masing memiliki
karakter khusus, yakni:
Mazhab Behavioral
Inti dari
mazhab ini adalah revolusi ditandai dengan perubahan perilaku manusia yang
fundamental. Teori ini dikemukan oleh Pitirim Sorokin pada tahun 1925 dimana ia
melihat berdasarkan pengalamannya saat Revolusi Rusia tahun 1917. Ia mengatakan
bahwa dalam revolusi selalu terjadi penyimpangan perilaku individu. Hal ini
dapat terjadi karena adanya represi (tekanan) dari elite penguasa terhadap
kebutuhan masyarakat. Adanya kekecewaan dan kemarahan yang dirasakan rakyat
pada puncaknya akan menghadirkan revolusi yang dilakukan rakyat terhadap penguasa.
Mazhab Psikologis
Menurut
teori ini, revolusi terjadi akibat adanya perbedaan antara situasi yang
diharapkan dengan kenyataan di lapangan. Meskipun demikian, tidak semua
penderitaan menimbulkan pemberontakan. Untuk mencapai revolusi, masyarakat
harus merasakan adanya pernderitaan dan ketidakadilan tersebut. Penulis
mengambil contoh kondisi di Indonesia yang ada sekian juta masyarakat miskin
namun tidak memberontak. Mereka tidak melihat kemiskinan itu sebagai bentuk
ketidakadilan, tetapi mereka menganggap bahwa menjadi miskin adalah takdir
hidupnya. Hal inilah yang menurut penulis menjadi penyebab mengapa Indonesia
belum terjadi revolusi.
Mazhab Struktural
Menurut
mazhab ini, penyebab revolusi berasal dari struktural antara warga negara dan
negara yang besifat makrostruktural, bukan pada tataran individual.
Mazhab Politik
Mazhab ini
melihat revolusi sebagai bentuk politik dari pihak-pihak yang ingin
mengendalikan negara.
Resume Buku : REKAYASA SOSIAL:
REFORMASI, REVOLUSI, ATAU MANUSIA BESAR. Penulis : Jalaludin Rakhmat
0 komentar:
Posting Komentar